Friday, June 28, 2013

Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Risiko

Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Risiko
Berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Elzahar dan Hussainey (2012), karakteristik perusahaan yang dapat mempengaruhi pengungkapan risiko dalam laporan keuangan interim perusahaan adalah tipe sektor industri, ukuran perusahaan, profitabilitas, gearing, likuiditas, dan crosslisting, dijelaskan sebagai berikut:
1) Tipe Sektor Industri
Tipe sektor industri menunjukkan keterlibatan perusahaan ke dalam industri-industri tertentu sesuai dengan karakteristik kegiatan usaha yang dioperasikan perusahaan. Perusahaan yang berada dalam sektor industri yang sama biasanya akan melakukan praktik pengungkapan risiko yang sama pula pada tingkat pengungkapan risiko yang dilakukan (Aly et al., 2010). Pengaruh antara tipe sektor industri dengan pengungkapan risiko dapat diketahui dengan luasnya informasi risiko yang diungkapkan. Namun demikian, luas pengungkapan risiko pada perusahaan yang bergerak di sektor industri manufaktur berbeda dengan perusahaan yang bergerak di sektor industri jasa.
2) Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan nilai yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan. Ukuran  7rusahaan biasanya diukur dengan menggunakan total penjualan, total aset, dan kapitalisasi pasar. Semakin besar nilai total penjualan, total aset, dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan. Lebih rinci, semakin besar total aset maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula perusahaan dikenal dalam masyarakat (Sudarmadji dan Sularto, 2007).
Penelitian ini menggunakan total aset sebagai proksi dari ukuran perusahaan. Penggunaan total aset dalam penelitian ini didasarkan pada alasan bahwa pada penelitian Elzahar dan Hussainey (2012), total aset yang merupakan proksi ukuran perusahaan ditemukan berpengaruh secara signifikan dengan pengungkapan risiko pada laporan keuangan interim perusahaan di Inggris. Selain itu, total aset merupakan ukuran yang relatif lebih stabil dibandingkan dengan ukuran lain dalam mengukur ukuran perusahaan (Sudarmadji dan Sularto, 2007).
3) Cross-listing
Cross-listing memberikan perusahaan banyak peluang dalam membuat akses terhadap banyak sumber pendanaan alternatif. Dengan perusahaan mendaftarkan perusahaannya di bursa efek luar negeri menjadikan perusahaan memiliki banyak pilihan dalam hal pendanaan perusahaan. Namun, sebagai konsekuensinya, perusahaan yang listing lebih dari satu bursa efek, akan membuat manajer menyediakan lebih informasi mengenai risiko (pengungkapan risiko) dalam laporan keuangannya (Elzahar dan Hussainey, 2012). Hal tersebut dilakukan agar sekuritas dari perusahaan tersebut dapat terlihat lebih atraktif untuk investor dan kreditur.
4) Profitabilitas
Profitabilitas merupakan salah satu cara untuk menilai kinerja manajemen dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu dengan mengetahui kenaikan laba perusahaan. Profitabilitas merupakan indikator keberhasilan perusahaan terutama kemampuannya dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan sumber-sumber yang dimilikinya seperti aset atau ekuitas. Banyak ukuran yang dapat digunakan sebagai proksi dari tingkat profitabilitas, diantaranya yaitu ROA, ROE, dan net profit margin. Semakin besar ROA, ROE, dan net profit margin akan membuat perusahaan melakukan pengungkapan risiko yang lebih luas dalam laporan keuangan interim perusahaan, dan juga sebaliknya.
5) Likuiditas
Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk membiayai liabilitas jangka pendeknya. Ukuran yang dapat mewakili likuiditas adalah dengan membandingkan antara total aset  lancar yang dimiliki perusahaan dengan total liabilitas jangka pendeknya. Semakin tinggi tingkat likuiditasnya, manajer akan melakukan pengungkapan yang lebih mengenai risiko yang dihadapinya dalam laporan keuangan interim perusahaan. Hal tersebut dilakukan agar membedakan yang dilakukan oleh manajer yang melakukan pengungkapan risiko lebih sedikit pada tingkat likuiditas yang rendah (Elzahar dan Hussainey, 2012).
6) Gearing
Gearing atau leverage menunjukkan kemampuan perusahaan atas proporsi penggunaan hutang dalam membiayai investasi (Endrian, 2010). Salah satu ukuran yang dapat mewakili gearing adalah debt to asset ratio. Debt to asset ratio menggambarkan besarnya hutang perusahaan yang digunakan untuk membiayai aktiva dalam rangka menjalankan aktivitas operasionalnya. Semakin besar debt to asset ratio menunjukkan semakin besar tingkat ketergantungan perusahaan terhadap pihak eksternal (kreditur) sehingga perusahaan tersebut mungkin lebih berisiko untuk terjadinya kesulitan pembayaran kewajiban dan bunganya.

Pengungkapan Risiko


Praktik pengungkapan risiko perusahaan merupakan bagian dari penerapan konsep pengungkapan (disclosure). Apabila dikaitkan dengan data, pengungkapan berarti memberikan data yang bermanfaat kepada pihak yang memerlukan. Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan laporan keuangan, pengungkapan mengandung arti bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha (Ghozali dan Chariri, 2007). Dalam interpretasi yang lebih luas, pengungkapan terkait dengan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan maupun informasi tambahan (supplementary communications) yang terdiri dari catatan kaki, informasi tentang kejadian setelah tanggal pelaporan, analisis manajemen tentang operasi perusahaan di masa yang mendatang, prakiraan keuangan dan operasi, serta informasi lainnya (Nuswandari, 2009).
Tiga konsep mengenai pengungkapan yang diusulkan menurut Ghozali dan Chariri (2007) adalah pengungkapan yang cukup (adequate), wajar (fair), dan lengkap (full). Yang paling umum digunakan dari tiga konsep tersebut adalah pengungkapan yang cukup. Pengungkapan ini mencakup pengungkapan minimal yang harus dilakukan agar laporan keuangan tidak menyesatkan. Wajar dan lengkap merupakan konsep yang lebih positif. Pengungkapan secara wajar menunjukkan tujuan etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama dan umum bagi semua pemakai laporan keuangan. Pengungkapan yang lengkap mensyaratkan perlunya penyajian semua informasi yang relevan. Bagi beberapa pihak, pengungkapan yang layak ini diartikan sebagai penyajian informasi yang berlebihan, sehingga tidak bisa dikatakan akan layak (Hendriksen dan Breda, 1992 dalam Ghozali dan Chariri, 2007).
Dalam praktik pengungkapan risiko perusahaan, manajer harus memberikan pengungkapan yang cukup mengenai informasi risiko-risiko yang dihadapinya dalam laporan keuangan interim. Hal tersebut memberikan informasi yang minimal kepada investor dan kreditur dalam memutuskan keputusan investasi mereka. Perusahaan dikatakan telah mengungkapkan risiko jika pembaca laporan keuangan diberi informasi mengenai kesempatan atau prospek, bahaya, kerugian, ancaman atau eksposur, yang akan berdampak bagi perusahaan sekarang maupun masa mendatang (Linsley dan Shrives, 2006). Pelaporan risiko (pengungkapan risiko dalam laporan keuangan interim) merupakan salah satu aspek penting dalam melakukan manajemen risiko. Hal tersebut menjadi penting karena memiliki beberapa manfaat, antara lain sebagai berikut:
1. membantu pengguna laporan keuangan untuk menilai risiko saat ini dan di masa mendatang, yang diperlukan untuk mengoptimalkan pendapatan mereka (Abraham dan Cox, 2007)
2. membantu dalam proses pengambilan keputusan investor dengan, mengevaluasi informasi yang diungkapkan oleh perusahaan dalam membangun tingkatan berbagai risiko yang dihadapinya, kemudian keputusan yang diambil berdasarkan pengembalian yang diharapkan dan pertimbangan risiko (Cabedo dan Tirado, 2004)
3. meningkatkan akuntabilitas terhadap pengaruhnya dengan manajemen (stewardship), perlindungan investor dan kegunaan pelaporan keuangan. (ICAEW dalam Elzahar dan Hussainey, 2012).
Pengungkapan risiko perusahaan juga memiliki manfaat bagi perusahaan yaitu dapat mengurangi kemungkinan kegagalan keuangan (Baretta dan Bozzolan dalam Elzahar dan Hussainey, 2012). Selain itu, pengungkapan risiko dapat menurunkan biaya pendanaan eksternal perusahaan (Linsley dan Shrives dalam Elzahar dan Hussainey, 2012).
Pentingnya pengungkapan risiko dalam laporan keuangan interim telah membuat badan regulator di luar negeri dan Indonesia mengeluarkan aturan aturan yang mensyaratkan perusahaan melaporkan informasi risikonya dalam laporan keuangan. Aturan yang mendukung pengungkapan risiko dalam laporan keuangan interim yaitu Keputusan Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan Nomo r: Kep-36/PM/2003 dan Kep-346/BL/2011 mengenai Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala bagi Emiten atau Perusahaan  Publik, menyatakan bahwa emiten selain diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan tengah tahunan juga diwajibkan untuk menyertakan penjelasan mengenai risiko-risiko yang dihadapi perusahaan serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengelola risiko tersebut. Risiko-risiko itu misalnya, risiko yang disebabkan oleh fluktuasi kurs atau suku bunga, persaingan usaha, pasokan bahan baku, ketentuan negara lain atau peraturan internasional, dan kebijakan pemerintah.

Selanjutnya, PSAK No. 60 (Revisi 2010) yang dikeluarkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tentang Instrumen Keuangan: Pengungkapan, menyebutkan bahwa pengungkapan yang dipersyaratkan adalah untuk mengungkapkan informasi yang memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi signifikansi instrumen keuangan terhadap posisi dan kinerja keuangan. Pengungkapan risiko yang harus dilakukan lebih pada jenis dan tingkat risiko yang timbul, yang kemudian dikategorikan dalam pengungkapan kuantitatif dan kualitatif. Pengungkapan kuantitatif meliputi risiko kredit, aset keuangan yang melewati jatuh tempo atau mengalami penurunan nilai, agunan dan peningkatan kualitas kredit yang diperoleh, risiko likuiditas, risiko pasar dan analisis sensitivitas, serta pengungkapan risiko pasar lainnya. Sedangkan pengungkapan kualitatif meliputi eksposure timbulnya risiko, tujuan, kebijakan dan proses pengelolaan risiko. PSAK No. 60 (Revisi 2010) tidak mengatur format ataupun tempat diungkapkannya informasi risiko dalam laporan keuangan. Namun, jika informasi tersebut telah diungkapkan dalam laporan keuangan, maka tidak perlu disajikan kembali dalam catatan atas laporan keuangan.

Pengertian Kualitas Produk Konstruksi Perumahan


Kualitas produk merupakan salah satu faktor pembentuk persepsi kepuasan konsumen. Dalam pandangan konsumen, nilai suatu produk merupakan kualitas produk yang dinikmati konsumen dengan pengorbanan sejumlah uang atau sumber daya yang lain. Kualitas didefinisikan secara luas sebagai superiorotas produk secara keseluruhan (Zeithaml, V.A, 1993). Kualitas diterapkan dengan cara membandingkan antara standar yang spesifik dengan performa dan kesesuaian aktualnya, kualitas produk memiliki variabel berupa spesifikasi yang sesuai, kualitas yang tahan lama dan kualitas yang dapat dipercaya. Dimensi-dimensi dari kualitas produk
1. Performance, tingkat dimana karakteristik utama produk beroperasi.
2. Feature, elemen kedua dari produk yang merupakan komplemen dari karakteristik utama produk.
3. Comformance quality, derajat dimana produk memenuhi spesifikasi dan bebas dari cacat.
4. Realibility, kekonsistenan dari kinerja setiap waktu dan dari pembelian ke pembelian.
5. Durability, harapan terhadap umur hidup produk.
6. Serviceability, kemudahan dari produk untuk diservis.
7. Style and Design, penampilan atau perasaan orang terhadap kualitas produk.
Menurut Brucks dan Zeithaml (1987) dalam Zeithaml (1993) berdasarkan exploratory, terdapat enam dimensi yaitu easy to use, functionality, performance, durability, service,ability & prestige yang digunakan untuk berbagai kategori durable food. Empat skala pengukuran kualitas produk :
1. Tampilan produk yang dihasilkan.
2. Tingkat kesesuaian produk yang dihasilkan.
3. Daya tahan produk.
4. Kehandalan produk yang dihasilkan.
Untuk produk rumah skala pengukuran atas kualitas produk dikaitkan dengan ketiga indikator diatas yaitu tampilan fisik bangunan apakah menarik atau tidak. Tingkat kualitas bangunan dikaitkan dengan harga atau spesifikasi bangunan yang dikaitkan dengan harga, daya tahan bangunan rumah yang dikaitkan dengan lamanya waktu penggunaan. Kualitas juga memainkan peran kritis kearah peningkatan kepuasan konsumen yang meningkatkan ingatan konsumen, biaya pemasaran yang rendah, dan kenaikan pendapatan. Dengan meningkatnya kepuasan konsumen atas kualitas produk maka bagi konsumen akan dapat meningkatkan daya ingat sehingga kemungkinan akan mereferensikan kepada pembeli potensial sedangkan bagi perusahaan akan meningkatkan jumlah penjualan dan menyebabkan biaya pemasaran yang rendah karena biaya tetap yang cenderung tak berubah pada tingkat penjualan tertentu. Ukuran kualitas jasa pelayanan tas produk rumah yang diberikan perusahaan adalah pelayanan kualitas dan pelayanan purna jual (pasca huni) yaitu jasa pelayanan yang diberikan setelah dilakukan serah terima rumah kepada konsumen. Seperti juga kualitas, kemampuan jasa pelayanan yang superior dapat menjadi keistimewaan produk yang sebenarnya. Beban yang diberikan kepada pelayanan dalam persamaan nilai merupakan fungsi yang sering merupakan fungsi yang kompleks dari suatu produk. Menurut Oliver (1997) dalam Andreasson dan Lindestad (1998) dalam Mulyono (2008) pada penelitiannya tentang “Analisis Pengaruh Kualitas Produk dan Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Konsumen”, kuallitas produk merupakan salah satu faktor pembentuk persepsi kepuasan konsumen. Dalam pandangan konsumen, nilai suatu produk merupakan kualitas produk
yang dinikmati konsumen dengan pengorbanan sejumlah uang atau sumber daya yang lain.

Pengertian Produk Konstruksi Perumahan


Pengertian Produk Konstruksi Perumahan
Dalam UU No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, perumahan dan permukiman dibedakan sebagai berikut: permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan pedesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian plus prasarana dan sarana lingkungan.
Urusan perumahan umumnya dilihat sebagai urusan pembangunan unsur buatan dalam kaitannya dengan unsur sosial ekonomi masyarakat yang bersifat kuantitatif, yaitu untuk memenuhi kekurangan rumah yang sehat dan layak akibat kenaikan jumlah penduduk. Masalah perumahan juga dipersempti menjadi sebatas membuat komoditi rumah, sehingga segala sesuatunya kemudian diterjemahkan lebih dari sudut suplai. Perumahan lebih merupakan urusan produsen yaitu bagaimana membuat komoditi sesuai dengan pasar potensial yang menguntungkan. Adapun prasarana dalam lingkungan perumahan berdasarkan keputusan Menteri PU no. 20/KTPS/1986 tentang pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana tidak bersusun disebutkan:
1. Jalan adalah jalur yang direncanakan atau digunakan untuk lalu lintas kendaraan dan orang. Prasarana lingkungan yang berupa jalan lokal sekunder yaitu jalan setapak dan jalan kendaraan memiliki standar lebar badan jalan minimal 1,5 meter dan 3,5 meter.
2. Air limbah adalah semua jenis air buangan yang mengandung kotoran dari rumah tangga. Prasarana untuk air lembah permukiman:
a. Septik tank
b. Bidang Resapan
Apabila kemungkinan membuat septik tank tak ada, maka lingkungan perumahan harus dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah lingkunan atau harus dapat disambung pada sistem pembuangan air limbah kota.
3. Air hujan, Setiap lingkungan harus dilengkapi dengan sistem pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas tampung yang cukup sehingga lingkungan perumahan bebas dari genangan air.
4. Air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan untuk keperluan rumah tangga setiap lingkungan perumahan harus dilengkapi dengan prasarana air bersih yang memenuhi persyaratan:
Lingkungan perumahan harus mendapat air bersih yang cukup dari jaringan dan kota
Penyediaan air bersih kota atau penyediaan air bersih lingkungan harus dapat melayani kebutuhan perumahan
Harus tersedia sistem plambing di rumah dan meteran air untuk sambungan rumah
Untuk sambungan halaman tidak harus tersedia sistem plambing di rumah, hanya sampai halaman saja. Namun harus tersedia meteran air.
5. Supply listrik
Untuk perumahan Satu unit kediaman minimum disediakan jatah 450 AV
Untuk Penerangan jalan umum
6. Jaringan telepon pembangunan perumahan sederhana sebaiknya dilengkapi dengan jaringan telepon umum.
Dewasa ini konsep pemasaran mengalami perkembangan yang semakin maju sejalan dengan majunya masyarakat dan teknologi. Perusahaan tidak lagi berorientasi hanya pada pembeli saja, akan tetapi berorientasi pada masyarakat atau manusia. Konsep yang demikianlah yang disebut dengan konsep pemasaran masyarakat. Pada intinya, jika suatu perusahaan ingin menerapkan orientasi konsumen ini, maka:
1. Menentukan kebutuhan pokok dari pembeli yang akan dilayani dan dipenuhi.
2. Memilih kelompok pembeli tertentu sebagai sasaran dalam penjualan.
3. Menentukan produk dan program pemasarannya.
4. Mengadakan penelitian pada konsumen untuk mengukur, menilai dan menafsirkan keinginan, sikap serta tingkah laku mereka.
5. Menentukan dan melaksanakan strategi yang paling baik, apakah menitikberatkan pada mutu yang tinggi, harga yang murah atau model yang menarik.
Berorientasi pada klien artinya berpusat pada kebutuhan klien. Developer dan pemasar produk perumahan harus bekerja bersama dan untuk memenuhi kepentingan klien. Pemasar produk perumahan akan mengalami kesukaran jika apa yang dilakukan pihak developer tidak sesusai dengan kebutuhan klien. Maka developer harus mampu untuk mengambil kebijakan dengan lebih berorientasi pada klien. Pemasar produk perumahan harus menunjukan keakraban dengan klien, memperhatikan kebutuhan klien, sehingga memperoleh kepercayaan yang tinggi dari klien. Dengan dasar hubungan yang baik itu mereka dapat menyesuaikan kebutuhan klien.
Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer-oriented) perlu memberikan kesempatan yang luas kepada para pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis (yang mudah dijangkau atau sering dilewati pelanggan), kartu komentar (yang bisa diisi langsung maupun yang bisa dikirim via pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa, dan lain-lain. Informasi-informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya untuk bereaksi dengan tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul. Zeithmal et. al (1990) mengemukakan bahwa tanggapan (responsiveness) yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi: kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi, dan penanganan keluhan pelanggan.
Keluhan adalah satu pernyataan atau ungkapan rasa kurang puas terhadap satu produk atau layanan, baik secara lisan maupun tertulis, dari pelanggan internal maupun eksternal. Manfaat prosedur penanganan keluhan:
Tersedia prosedur yang jelas ketika terjadi keluhan
Menciptakan pemahaman dan keyakinan cara menangani keluhan
Membantu mengatasi rasa “bersalah” secara pribadi bagi orang yang menangani keluhan
Menerima keluhan sebagai umpan-balik yang berharga, bukan sebagai kritik
Menghasilkan catatan yang dapat digunakan untuk menganalisa kemungkinan peningkatan layanan.
Dipohusodo (1996) menyatakan dalam penyelenggaraan konstruksi, faktor biaya merupakan bahan pertimbangan utama karena biasanya menyangkut jumlah investasi besar yang harus ditanamkan yang rentan terhadap resiko kegagalan. Sehingga hal ini akan berdampak pada harga yang ditawarkan pengembang perumahan. Untuk menentukan harga bangunan (building cost) rancangan pekerjaan konstruksi dari suatu bangunan gedung dan perumahan, diperlukan suatu acuan dasar. Analisa biaya konstruksi bangunan gedung dan perumahan antara lain memuat beberapa hal sebagai berikut:
1. Perhitungan harga satuan pekerjaan persiapan dan pekerjaan tanah untuk bangunan sederhana;
2. Analisa biaya konstruksi (ABK) bangunan gedung dan perumahan pekerjaan penutup tanah
3. Perhitungan harga satuan pekerjaan pondasi untuk bangunan sederhana
4. Perhitungan harga satuan pekerjaan pasangan dinding
5. Analisa Biaya konstruksi (ABK) bangunan gedung dan perumahan pekerjaan plesteran;
6. Perhitungan harga satuan kayu;
7. Perhitungan harga satuan beton;
8. Analisa biaya konstruksi (ABK) bangunan gedung dan perumahan pekerjaan penutup atap;
9. Analisa biaya konstruksi (ABK) bangunan gedung dan perumahan pekerjaan langitlangit;
10. Perhitungan harga satuan pekerjaan pipa dan saniter;
11. Analisa biaya konstruksi (ABK) bangunan gedung dan perumahan pekerjaan besi dan alluminium.
Biaya konstruksi perumahan sangat menentukan kualitas dan harga rumah yang ditawarkan oleh developer. Harga adalah biaya yang paling mudah dilihat, sehingga merupakan unsur penting bagi pelanggan dalam mengambil keputusan. Pada prinsipnya harga jual harus dapat menutupi biaya penuh ditambah dengan laba yang wajar. Harga jual sama dengan biaya produksi ditambah mark-up. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa harga jual adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi suatu barang atau jasa ditambah dengan persentase laba yang diinginkan perusahaan, karena itu untuk mencapai laba yang diinginkan oleh perusahaan salah satu cara yang dilakukan untuk menarik minat konsumen adalah dengan cara menentukan harga yang tepat untuk produk yang terjual. Harga yang tepat adalah harga yang sesuai dengan kualitas produk suatu barang dan harga tersebut dapat memberikan kepuasan kepada konsumen.
Perusahaan pelayanan telah meningkatkan kompetisi pangsa pasarnya dengan berbasis pada ketepatan waktu pengiriman yaitu kapan barang diterima oleh konsumen. Bagi perusahaan pengembang yang memproduksi rumah, ketepatan waktu pengiriman diartikan sebagai saat rumah diserahkan kepada konsumen yang disebut serah terima produk. Dalam menyeleksi komitmen waktu pengiriman (saat penyerahan), perusahaan harus mempertimbangkan tidak hanya bagaimana konsumen memberikan reaksi terhadap komitmen tetapi juga apakah perusahaan mempunyai kapasitas pelayanan yang cukup.
Untuk memperoleh sukses, manajemen profesional harus: mengidentifikasi konsumen, mengerti kebutuhan konsumen. Faktor-faktor yang menggerakkan perilaku konsumen meliputi harapan konsumen, persepsi konsumen, dan respon konsumen yang terdiri dari hasil (sangat baik, puas, tidak puas) dan dampak (tumbuh, bertahan, berkurang).
Harapan konsumen akan ketepatan waktu penyerahan dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti harga, pemberitahuan secara lisan, pengawasan komunikasi oleh perusahaan, dan pengalaman jasa sebelumnya. Waktu pengiriman yang dirasakan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologi dan sosial. Yang dimaksud dengan pengiriman diatas apabila diterapkan pada produk rumah adalah serah terima rumah dari perusahaan kepada pelanggan. Indikator dari pengiriman pada produk rumah antara lain ketepatan waktu yaitu jadwal yang tertera dalam perjanjian jual beli dengan realisasi waktu penyerahan. Dalam penelitiannya tentang “Analisis Pengaruh Kualitas Produk dan Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Konsumen”, Mulyono (2008) menyatakan bahwa perusahaan pelayanan telah meningkatkan kompetisi pangsa pasarnya dengan berbasis pada ketepatan waktu pengiriman yaitu kapan barang diterima oleh konsumen. Bagi perusahaan pengembang yang memproduksi rumah, ketepatan waktu pengiriman diartikan sebagai saat rumah diserahkan kepada konsumen yang disebut serah terima produk. Larsson (1991) dan Zheng (2002) dalam Mulyono (2008) telah melakukan pengamatan bahwa waktu pengiriman yang dirasakan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologi dan sosial. Yang dimaksud dengan pengiriman diatas apabila diterapkan pada produk rumah adalah serah terima rumah dari perusahaan kepada pelanggan. Indikator dari pengiriman pada produk rumah antara lain ketepatan waktu yaitu jadwal yang tertera dalam perjanjian jual beli dengan realisasi waktu penyerahan, kemudian faktor kesesuaian spesifikasi produk antara apa yang tertera dalam perjanjian jual beli dengan kenyataan dilapangan. Selain itu kelengkapan yang merupakan utilitas rumah seperti jaringan listrik, air, dan masalah legalitas berupa IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dan sertifikat rumah seringkali menjadi kendala dalam proses melakukan serah terima produk. Keempat elemen tersebut diatas merupakan faktor penentu kepuasan konsumen.

Pengertian Kualitas Produk Konstruksi Perumahan


Kualitas produk merupakan salah satu faktor pembentuk persepsi kepuasan konsumen. Dalam pandangan konsumen, nilai suatu produk merupakan kualitas produk yang dinikmati konsumen dengan pengorbanan sejumlah uang atau sumber daya yang lain.
Kualitas didefinisikan secara luas sebagai superiorotas produk secara keseluruhan (Zeithaml, V.A, 1993). Kualitas diterapkan dengan cara membandingkan antara standar yang spesifik dengan performa dan kesesuaian aktualnya, kualitas produk memiliki variabel berupa spesifikasi yang sesuai, kualitas yang tahan lama dan kualitas yang dapat dipercaya. Dimensi-dimensi dari kualitas produk
1. Performance, tingkat dimana karakteristik utama produk beroperasi.
2. Feature, elemen kedua dari produk yang merupakan komplemen dari karakteristik utama produk.
3. Comformance quality, derajat dimana produk memenuhi spesifikasi dan bebas dari cacat.
4. Realibility, kekonsistenan dari kinerja setiap waktu dan dari pembelian ke pembelian.
5. Durability, harapan terhadap umur hidup produk.
6. Serviceability, kemudahan dari produk untuk diservis.
7. Style and Design, penampilan atau perasaan orang terhadap kualitas produk.
Menurut Brucks dan Zeithaml (1987) dalam Zeithaml (1993) berdasarkan exploratory, terdapat enam dimensi yaitu easy to use, functionality, performance, durability, service, ability & prestige yang digunakan untuk berbagai kategori durable food. Empat skala pengukuran kualitas produk :
1. Tampilan produk yang dihasilkan.
2. Tingkat kesesuaian produk yang dihasilkan.
3. Daya tahan produk.
4. Kehandalan produk yang dihasilkan.
Untuk produk rumah skala pengukuran atas kualitas produk dikaitkan dengan ketiga indikator diatas yaitu tampilan fisik bangunan apakah menarik atau tidak. Tingkat kualitas bangunan dikaitkan dengan harga atau spesifikasi bangunan yang dikaitkan dengan harga, daya tahan bangunan rumah yang dikaitkan dengan lamanya waktu penggunaan. Kualitas juga memainkan peran kritis kearah peningkatan kepuasan konsumen yang meningkatkan ingatan konsumen, biaya pemasaran yang rendah, dan kenaikan pendapatan. Dengan meningkatnya kepuasan konsumen atas kualitas produk maka bagi konsumen akan dapat meningkatkan daya ingat sehingga kemungkinan akan mereferensikan kepada pembeli potensial sedangkan bagi perusahaan akan meningkatkan jumlah penjualan dan menyebabkan biaya pemasaran yang rendah karena biaya tetap yang cenderung tak berubah pada tingkat penjualan tertentu.
Ukuran kualitas jasa pelayanan atas produk rumah yang diberikan perusahaan adalah pelayanan kualitas dan pelayanan purna jual (pasca huni) yaitu jasa pelayanan yang diberikan setelah dilakukan serah terima rumah kepada konsumen. Seperti juga kualitas, kemampuan jasa pelayanan yang superior dapat menjadi keistimewaan produk yang sebenarnya. Beban yang diberikan kepada pelayanan dalam persamaan nilai merupakan fungsi yang sering merupakan fungsi yang kompleks dari suatu produk. Menurut Oliver (1997) dalam Andreasson dan Lindestad (1998) dalam Mulyono (2008) pada penelitiannya tentang “Analisis Pengaruh Kualitas Produk dan Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Konsumen”, kuallitas produk merupakan salah satu faktor pembentuk persepsi kepuasan konsumen. Dalam pandangan konsumen, nilai suatu produk merupakan kualitas produk yang dinikmati konsumen dengan pengorbanan sejumlah uang atau sumber daya yang lain.  

Teori Kepemilikan Perusahaan dan Pengertian Kepemilikan Perusahaan



Struktur kepemilikan dalam suatu perusahaan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam hal mengawasi atau memonitor perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya. Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dan pemegang saham Faisal (2005) dalam Sabrina (2010). Struktur kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya perusahaan yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja suatu perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) dalam Sabrina (2010) menyatakan bahwa kepemilikan perusahaan dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme yang dapat mengendalikan masalah keagenan yang ada di suatu perusahaan.
Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh manajemen ...........
Baca selengkapnya...>>

Litigasi Auditor

Risiko litigasi diartikan sebagai risiko mendapat adanya tuntutan litigasi dari pihak eksternal yan gmerasa dirugikan (Juanda, 2007). Kantor akuntan publik non-Big 8 akan lebih sering berhadapan dengan risiko litigasi dibandingkan auditor yang berasal dari akuntan Big 8 Palmrose, 1988; dalam Payamta, 2006).
Heninger (2001) dan Palmrose dan Sholz (2004) dalam Abbott (2006) mengemukakan bahwa kemungkinan litigasi auditor bergantung pada besaran manajemen laba. Heninger (2001) dalam Sun dan Liu (2011) menemukan bahwa tinggi nya manajemen laba mendorong adanya litigasi ex-post auditor yang lebih tinggi pula. Dampak nyata terjadinya litigasi disebut ex-post, sedangkan ex-ante didefinisikan sebagai kondisi nyata yang memungkinkan terjadinya tuntutan litigasi (Juanda, 2008). Houston et al. (1999) dan Lee dan Mande (2003) dalam Abbott (2006) menjelaskan bahwa auditor berhubungan dengan besarnya discretionary accruals dalam penaksiran atau penilaian risiko litigasi mereka. Khurana dan Raman (2004) dalam Sun dan Liu (2011) menjelaskan bahwa kualitas audit yang lebih tinggi dari big auditor berhubungan dengan risiko litigasi. Mereka menggunakan biaya „ex-ante’ dari kapital ekuitas sebagai proksi dari kredibilitas laporan keuangan, dan menemukan bahwa audit dari big auditor berhubungan dengan rendahnya biaya ex-ante di USA yang memiliki risiko litigasi tinggi dan tidak untuk Negara seperti Australia, Kanada, UK yang memiliki risiko litigasi yang lebih rendah dari USA. Francis dan Wang (2006) menjelaskan bahwa di dalam peraturan yang ketat dalam perlindungan terhadap investor akan membuat kualitas laba akan semakin tinggi. Ini berarti bahwa dalam risiko litigasi yang tinggi maka manajemen laba yang dihasilkan akan rendah karena kualitas laba yang dihasilkan semakin tinggi.
Shu (2000) dalam Sun dan Liu (2011) menjelaskan bahwa penghitungan litigasi auditor menggunakan karakteristik 14 perusahaan. Karakteristik 14 perusahaan tersebut dinilai dapat menjelaskan litigasi auditor tersebut. Shu membuktikan bahwa litigasi auditor berhubungan positif dengan ukuran klien, rasio dari piutang usaha dan inventory dari total asset, ROA, financial leverage, pertumbuhan penjualan, beta dan turnover saham. 

Kualitas Audit



Kualitas audit sering dikaitkan dengan ukuran auditor dan KAP (Nurina, 2011; Meutia, 2004). De Angele (1981) dalam Sun dan Liu (2011) menyatakan bahwa ukuran auditor berhubungan positif dengan kualitas audit karena big auditor mempunyai dorongan yang lebih besar untuk menjaga reputasi mereka dengan cara memberikan pelayanan kualitas audit yang tinggi kepada kliennya. Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Dahlan (2009), pengauditan merupakan suatu proses pengawasan dan meningkatkan keselarasan informasi yang wujud manajemen dan pemegang saham. Payamta (2006) menjelaskan pemilihan kantor akuntan yang masuk dalam golongan Big 4 dan non-Big 4 akan berpengaruh terhadap independensi auditor sehingga akan meningkatkan kualitas laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan dan independensi selain mempengaruhi reputasi auditor juga berdampak pada kualitas auditor pada laporan keuangan yang diauditnya. Auditor bertanggungjawab pada pengesahan laporan keuangan yang diaudit kepada investor, regulator dan pihak-pihak lain yang menggunakan laporan audit untuk mengambil keputusan. Krishnan (2003) dalam Sun dan Liu (2011) menjelaskan tentang dampak dari kualitas audit dalam informasi discretionary accrual. Hasil saham dan keuntungan masa depan mempunyai hubungan yang lebih positif dengan discretionary accrual yang perusahaannya diaudit oleh auditor Big 6 dari pada yang non-Big 6 yang diungkapkan oleh Krishnan (2003) dalam Sun dan Liu (2011). Semakin tingginya kualitas auditor akan semakin rendah absolute discretionary accruals yang terjadi di suatu perusahaan (Meutia, 2004). Indriani (2010) menemukan bukti empiris bahwa kualitas audit berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Bukti tersebut juga dikuatkan oleh hasil penelitian Dahlan (2009) yang memberikan fakta adanya hubungan negatif antara kualitas audit dengan manajemen laba. De Angelo (dikutip oleh Dahlan, 2009) berpendapat bahwa Big 5 memiliki dorongan yang lebih besar untuk menemukan kesalahan-kesalahan dalam sistem akuntansi klien dikarenakan big auditor tersebut mempunyai pengalaman yang banyak dan reputasi yang tinggi dibandingkan dengan non-big 5. Lennox (1999) dalam Payamta (2006) menyatakan bahwa auditor dari kantor akuntan Big 8 akan lebih akurat dari pada non-Big 8. Selain itu juga menunjukkan bahwa kualitas auditor meningkat sejalan dengan besarnya KAP tersebut (John, 1999; dalam Payamta, 2006). Oleh karena itu, di dalam penelitian ini menggunakan pengklasifikasian auditor size sebagai proksi dari kualitas audit. 

discretionary accruals dan non-discretionary accruals


Sistem akuntansi akrual memberikan peluang kepada manajemen untuk memanipulasi laba atau pendapatan akuntansi (De Angelo, 1986; dalam Dahlan, 2009). Akuntansi akrual tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu discretionary accruals dan non-discretionary accruals. Konsep discretionary accruals memberi pengertian bahwa pihak manajemen dapat memanipulasi pendapatan akrual dan biasanya digunakan untuk mencapai pendapatan yang diinginkan. De Angelo (1986) dalam Meutia (2004) menambahkan bahwa manajer memiliki kemampuan mengontrol bagian akrual dalam jangka pendek. De Angelo juga menjelaskan bahwa komponen non-discretionary accruals ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak dapat dikontrol oleh pihak manajer. Di dalam penelitian ini, perhitungan manajemen laba menggunakan Model Jones yaitu discretionary accrual yang sesuai dengan kinerja (performance-matched discretionary accruals). Berdasarkan pada Kothari et al., (2005), performance-matched discretionary accruals pengukurannya lebih spesifik dan powerfull daripada pengukuran discretionary accruals yang lain. Kothari menjelaskan juga bahwa penyeimbangan kinerja (performance matching) didesain untuk mengontrol dampak kinerja dalam mengukur discretionary accruals dan performance-matched discretionary accruals dapat dijadikan sebagai alternatif yang dapat dipakai dalam meneliti manajemen laba. 


Konsep dan Pengertian Manajemen Laba Serta Jenis Manajemen Laba




Manajemen laba didefinisikan sebagai usaha manajer untuk melakukan manipulasi laporan keuangan dengan sengaja dalam batasan yang dibolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi yang bertujuan untuk memberikan informasi yang menyesatkan kepada para pengguna laporan keuangan untuk kepentingan para manajer (Meutia, 2004). Menurut Sulistyanto (2008) dalam Nuraini (2012), manajemen laba dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab pada komponen akrual dapat dilakukan permainan angka melalui metode akuntansi yang digunakan sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan dan penyusunan laporan keuangan. Komponan akrual merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan (Sulistyanto, 2008 dalam Nuraini, 2012). Sugiri (1998) dalam Arif (2012) mendefinisikan manajemen laba sebagai perilaku manajer yang bermain dalam komponen discretionary accruals dalam menentukan besar labanya. Walaupun tidak menyalahi prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum namun ini dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat pada laporan keuangan eksternal dan menghalangi kompetensi aliran modal di pasar modal (Scott et al., 2001 dalam Meutia, 2004). Manajemen laba dalam lingkup yang lebih luas dapat didefiniskan sebagai tindakan manajer dalam meningkatkan (menurunkan) laba saat ini atas suatu usaha dan manajer bertanggung jawab tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut (Sugiri, 1998 dalam Arif, 2012). Menurut Scott (2003) terdapat dua cara untuk mamahami manajemen laba. Pertama, sebagai perilaku oportunistik manajemen untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kompensasi, kontrak utang dan biaya politik. Kedua, memandang manajemen laba dari perspektif kontrak efisien, yaitu manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka sendiri dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan semua pihak yang terlibat dalam kontrak. Manajemen laba memiliki pola-pola tertentu di dalam prakteknya. Menurut Scott (2003) manajemen laba dilakukan dengan pola sebagai berikut :


1. Taking a bath
Pola manajemen laba yang melaporkan laba pada periode berjalan dengan nilai yang sangat rendah atau sangat tinggi.
2. Income minimization
Pola manajemen ini seperti taking a bath tapi tidak se-ekstrim pola taking a bath. Menjadikan laba di periode berjalan lebih rendah dari pada laba sesungguhnya.
3. Income maximization
Pola manajemen laba ini berkebalikan dengan income minimization. Melaporkan laba lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya.
4. Income smoothing
Pola manajemen laba yang paling menarik yaitu dengan cara melaporkan tingkatan laba yang cenderung berfluktualisasi yang normal pada periode-periode tertentu. Tindakan para manajer perusahaan yang melakukan pemanipulasian laporan keuangan dengan menaikkan (menurunkan) laba perusahaan dinilai merugikan para pengguna laporan keuangan. Praktik manajemen laba dapat membuat para investor mengambil keputusan investasi yang salah. Manajer perusahaan memiliki motivasi-motivasi tertentu dalam memanipulasi data keuangan perusahaan. Scott (2003) menemukan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu:
1. Bonus purposes
Manajer akan melakukan tindakan oportunistik dengan memaksimalkan laba saat ini untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi.
2. Political motivation
Banyak perusahaan memiliki politik yang terlihat. Terutama untuk perusahaan yang menaungi hajat hidup banyak orang seperti perusahaan minyak, gas, dll. Beberapa perusahaan melakukan earnings management untuk mengurangi visibilitasnya.
3. Taxation motivation
Pajak pendapatan mungkin motivasi yang paling nyata dari manajemen laba. Otoritas perpajakan cenderung memaksakan peraturan akuntansi mereka dalam menghitung pajak pendapatan, mengurangi ruang lingkup perusahaan untuk melakukan manuver.
4. Perubahan CEO
Beberapa dari motivasi manajemen laba ada pada saat adanya perubahan CEO. Hipotesis perencanaan bonus memprediksikan bahwa pengunduran diri CEO akan beberapa terlibat dalam strategi maksimalisasi laba untuk meningkatkan bonus mereka.
5. IPO
Perusahaan yang akan melakukan IPO belum memiliki nilai pasar yang telah terbangun. Dan memungkinkan manajer dari perusahaan going public akan melakukan manajemen laba untuk menaikkan harga saham mereka.
6. Informasi kepada investor

Konsep Umum Kualitas Audit



Craswell et al. (1995) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyatakan bahwa klien biasanya mempersepsikan bahwa auditor yang berasal dari Kantor Akuntan Publik besar dan yang memiliki afiliasi dengan Kantor Akuntan Publik internasionallah yang memiliki kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut memiliki karakteristik yang dapat dikaitkan dengan kualitas, seperti pelatihan, pengakuan internasional, serta adanya peer review. DeAngelo (1981) dalam Nuswantari (2011) mengatakan bahwa peningkatan kualitas audit akan mempertinggi skala Kantor Akuntan Publik yang juga akan berpengaruh pada klien dalam memilih Kantor Akuntan Publik.
Ukuran auditor berhubungan positif dengan kualitas auditor. Economies of scale KAP yang besar akan memberikan insentif yang kuat untuk mematuhi aturan SEC sebagai cara pengembangan dan pemasaran keahlian KAP tersebut. Sharma dan Sidhu (2001) dalam Fanny dan Saputra (2005) menggolongkan reputasi Kantor Akuntan Publik ke dalam skala big six firms dan non big six firms untuk melihat tingkat independensi serta kecenderungan sebuah Kantor Akuntan Publik terhadap besarnya biaya audit yang diterimanya.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, proksi yang sering digunakan untuk menilai Kualitas Audit adalah dengan menggunakan skala Kantor Akuntan Publik. McKinley et al. (1985) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyatakan, ketika sebuah Kantor Akuntan Publik mengklaim dirinya sebagai KAP besar seperti yang dilakukan oleh big four firms, maka mereka akan berusaha keras untuk menjaga nama besar tersebut, mereka menghindari tindakan-tindakan yang dapat mengganggu nama besar mereka. 23 

Debt Default



Dalam PSA 30, indikator going concern yang banyak digunakan auditor dalam memberikan opini audit adalah kegagalan dalam memenuhi kewajiban utangntya (default). Debt default didefinisikan sebagai kegagalan debitor (perusahaan dalam membayar utang pokok dan atau bunganya pada waktu jatuh tempo (Chen dan Church, 1992). Manfaat status default utang sebelumnya telah diteliti oleh Chen dan Church (1992) yang menemukan hubungan yang kuat status default terhadap opini going concern. Semenjak auditor lebih cenderung disalahkan karena tidak berhasil mengeluarkan opini going concern setelah peristiwa-peristiwa yang menyarankan bahwa opini seperti itu mungkin tidak sesuai, biaya kegagalan untuk mengeluarkan opini going concern ketika perusahaan dalam keadaan default, tinggi sekali karenanya diharapkan status default dapat meningkatkan kemungkinan auditor mengeluarkan opini going concern.
Ketika jumlah utang perusahaan sudah sangat besar, maka aliran kas perusahaan akan banyak dialokasikan untuk menutupi utangnya, sehingga akan mengganggu kelangsungan operasi perusahaan. Apabila utang tak mampu dilunasi maka kreditor akan memberikan status default. Status default dapat meningkatkan kemungkinan auditor mengeluarkan laporan going concern. Manfaat status default utang sebelumnya telah diteliti oleh Chen dan Church dalam Surbakti (2011) yang menemukan hubungan yang kuat status default terhadap opini audit going concern. Hasil temuannya menyatakan bahwa kesulitan dalam mentaati persetujuan utang, fakta-fakta pembayaran yang lalai atau pelanggaran perjanjian, memperjelas masalah going concern suatu perusahaan. 

Opini Audit Going Concern


Dalam melakukan penugasan umum, auditor ditugasi memberikan opini atas laporan keuangan perusahaan. Opini yang diberikan merupakan pernyataan kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum (SPAP, 2001). Auditor dalam memberikan pendapat atau opini auditnya harus melalui beberapa tahapan. Ini dimaksudkan agar auditor dapat memberikan kesimpulan mengenai opini yang harus diberikan atas laporan keuangan yang diauditnya. Auditor dituntut tidak hanya melihat hal-hal yang ada dalam laporan keuangan saja tetapi juga mewaspadai hal-hal potensial yang dapat mengganggu kelangsungan hidup (going concern) suatu perusahaan. SPAP (PSA No. 30) memberikan pedoman kepada auditor tentang dampa kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya terhadap opini auditor sebagai berikut:
1. Jika auditor yakin bahwa terdapat kesangsian mengenai kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu yang pantas, ia harus:
a. Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditunjukan oleh mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.
b. menetapkan bahwa rencana tersebut secara efektif dilaksanakan.
2. Jika manajemen tidak memiliki rencana yang mengurangi dampak kondisi dan peristiwa terhdap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, auditor mempertimbangkan untuk memberikan peryataan yang tidak memiliki pendapat.
3. Jika manajemen memiliki rencana tersebut, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh auditor dalah menyimpulkan bahwa efektifitas rencana tersebut, diantaranya:
a. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut tidak efektif, auditor menyatakan tidak memberikan pendapat.
b. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif dan klien mengungkapkan dalam catatan laporan keuangan, auditor menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian.
c. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif akan tetapi klien tidak mengungkapkan dalam catatan laporan keuangan, auditor memberikan pendapat tidak wajar.

Going concern merupakan salah satu konsep yang mendasari pelaporan keuangan (Gray dan Manson, 2000 dalam Praptitorini dan Januarti, 2007). Masalah going concern terbagi dua, yaitu masalah keuangan yang meliputi kekurangan (defisiensi) likuiditas, defisiensi ekuitas, penunggakan utang, kesulitan memperoleh dana, serta masalah operasi yang meliputi kerugian operasi yang terus-menerus, prospek pendapatan yang meragukan, kemampuan operasi terancam, dan pengendalian yang lemah atas operasi. Inilah yang menjadi alasan kenapa auditor diminta untuk mengevaluasi atas kelangsungan hidup suatu perusahaan dalam waktu tertentu (SPAP SA 3

Konsep Going Concern


Going concern menurut Belkaoui (1997 : 135) adalah suatu dalil yang menyatakan bahwa kesatuan usaha akan menjalankan terus operasinya dalam jangka waktu yang cukup lama untuk mewujudkan proyeknya, tanggung jawab serta aktivitas-aktivitasnya yang tidak berhenti. Dalil ini memberikan gambaran bahwa suatu entitas akan diharapkan untuk beroperasi dalam jangka waktu yang tidak terbatas atau tidak diarahkan menuju ke arah likuidasi. Diperlukannya suatu operasi yang berlanjut dan berkesinambungan untuk menciptakan suatu konsekuensi bahwa laporan keuangan yang terbit di suatu periode mempunyai sifat sementara sebab masih merupakan satu rangkaian laporan keuangan yang berkelanjutan.



PSA 30 menyatakan bahwa going concern dipakai sebagai asumsi dalam pelaporan keuangan sepanjang tidak terbukti adanya informasi yang menunjukkan hal yang berlawanan. Biasanya informasi yang secara signifikan dianggap berlawanan dengan asumsi kelangsungan hidup suatu usaha adalah berhubungan dengan ketidakmampuan satuan usaha dalam memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo tanpa melakukan penjualan sebagian besar aktiva kepada pihak luar secara bisnis biasa, restrukturiasi utang, perbaikan operasi yang diperlukan dari luar atau kegiatan serupa lainnya. Going concern adalah kelangsungan hidup suatu entitas. Dengan adanya going concern maka suatu entitas dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka panjang atau tidak akan dilikuidasi dalam jangka pendek. Suatu entitas dianggap going concern apabila perusahaan dapat melanjutkan operasinya dan memenuhi kewajibannya. Apabila perusahaan dapat melanjutkan usahanya dan memenuhi kewajibannya dengan menjual aset dalam jumlah yang besar, perbaikan operasi yang dipaksakan dari luar, merestukturisasi hutang, atau dengan kegiatan serupa yang lain. Hal yang demikan akan menimbulkan keraguan besar terhadap going concern perusahaan, Surbakti (2011). 

Thursday, June 27, 2013

Jenis-Jenis Pariwisata


Jenis-Jenis Pariwisata
Jenis-jenis pariwisata menurut James J. Spillane (1987:29-31) berdasarkan motif tujuan perjalanan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis pariwisata khusus, yaitu :
1. Pariwisata untuk menikmati perjalanan (Pleasure Tourism)
Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk berlibur, mencari udara segar, memenuhi kehendak ingintahunya, mengendorkan ketegangan syaraf, melihat sesuatu yang baru,
menikmati keindahan alam, mengetahui hikayat rakyat setempat, mendapatkan ketenangan.
2. Pariwisata untuk rekreasi (Recreation Tourism)
Pariwisata ini dilakukan untuk pemanfaatan hari-hari libur untuk beristirahat, memulihkan kembali kesegaran jasmani dan rohaninya, dan menyegarkan diri dari keletihan dan kelelahannya. Dapat dilakukan pada tempat yang menjamin tujuan-tujuan rekreasi yang menawarkan kenikmatan yang diperlukan seperti tepi pantai, pegunungan, pusat-pusat peristirahatan dan pusat-pusat kesehatan.
3. Pariwisata untuk kebudayaan (Cultural Tourism)
Jenis ini ditandai oleh adanya rangkaian motivasi, seperti keinginan untuk belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset, mempelajari adat-istiadat, kelembagaan, dan cara hidup masyarakat yang berbeda-beda, mengunjungi monumen bersejarah, peninggalan masa lalu, pusat-pusat kesenian dan keagamaan, festival seni musik, teater, tarian rakyat dan lain-lain.
4. Pariwisata untuk olahraga (Sports Tourism)
Pariwisata ini dapat dibagi lagi menjadi dua kategori: 
a. Big sports events, yaitu peristiwa-peristiwa olahraga besar seperti Olympiade Games, kejuaraan ski dunia, kejuaraan tinju dunia, dan lainlain yang menarik perhatian bagi penonton atau penggemarnya.
b. Sporting tourism of the Practitioners, yaitu pariwisata olahraga bagi mereka yang ingin berlatih dan mempraktekkan sendiri seperti pendakian gunung, olahraga naik kuda, berburu, memancing dan lain-lain.
5. Pariwisata untuk urusan usaha dagang (Business Tourism)
Menurut para ahli teori, perjalanan pariwisata ini adalah bentuk profesional travel atau perjalanan karena ada kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan yang tidak memberikan kepada seseorang untuk memilih tujuan maupun waktu perjalanan.
6. Pariwisata untuk berkonvensi (Convention Tourism)
Pariwisata ini banyak diminati oleh negara-negara karena ketika diadakan suatu konvensi atau pertemuan maka akan banyak peserta yang hadir untuk tinggal dalam jangka waktu tertentu dinegara yang mengadakan konvensi. Negara yang sering mengadakan konvensi akan mendirikan bangunanbangunan yang menunjang diadakannya pariwisata konvensi. Ada berbagai macam bentuk perjalanan wisata menurut Gamal Suwantoro

(2004:14-17) bila ditinjau dari berbagai macam segi, yaitu:
1. Dan segi jumlahnya wisata dibedakan atas:
a. Individual tour (wisatawan perseorangan) yaitu suatu perjalanan wisata yang dilakukan oleh satu orang atau pasangan suami istri.
b. Family group tour (wisata keluarga) yaitu suatu perjalanan wisata yang dilakukan oleh serombongan keluarga yang masih mempunyai hubungan kekerabatan.
c. Group tour (wisata rombongan) yaitu perjalanan wisata yang dilakukan bersama-sama dan dipimpin oleh seseorang. .
2. Dari segi kepengaturannya wisata dibedakan atas:
a. Pre-arranged tour (wisata berencana) yaitu suatu perjalanan wisata yang telah diatur pada jauh hari sebelumnya.
b. Package tour (wisata paket atau paket wisata) yaitu suatu produk perjalanan wisata yang dijual oleh suatu perusahaan biro perjalanan.
c. Coach tour (wisata terpimpin) yaitu paket perjalanan ekskursi yang dijual oleh biro perjalanan dengan dipimpin oleh seorang pemandu wisata.
d. Special arranged tour (wisata khusus) yaitu suatu perjalanan wisata yang disusun secara khusus guna memenuhi permintaan wisatawan atau lebih sesuai dengan kepentingan wisatawan.
e. Optional tour (wisata tambahan) yaitu suatu perjalanan wisata tambahan diluar pengaturan yang telah disusun atas permintaan pelanggan.
3. Dari segi maksud dan tujuannya wisata dibedakan atas:
a. Holiday tour (wisata liburan) yaitu suatu perjalanan wisata yang diselenggarakan dan diikuti oleh anggotanya guna berlibur, bersenang senang dan menghibur diri.
b. Familiarization tour (wisata pengenalan) yaitu suatu perjalanan yang dimaksudkan guna mengenal lebih lanjut bidang atau daerah yang mempunyai kaitan dengan pekerjaan.
c. Educational tour (wisata pendidikan) yaitu suatu perjalanan wisata yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran, studi perbandingan ataupun pengetahuan mengenai bidang kerja yang dikunjungi.
d. Scientific tour (wisata pengetahuan) yaitu perjalanan wisata yang tujuan pokoknya adalah untuk memperoleh pengetahuan atau penyelidikan terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan.
e. Pileimage tour (wisata keagamaan) yaitu perjalanan wisata yang dimaksudkan guna melakukan ibadah keagamaan. 
f. Special mission tour (wisata program khusus) yaitu suatu perjalanan wisata yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan khusus. 
g. Hunting tour (wisata perburuan) yaitu kunjungan wisata untuk menyelenggarakan perburuan binatang yang diijinkan sebagai hiburan.
4. Dan segi penyelenggaraannya wisata dibedakan atas:
a. Excursion (ekskursi) yaitu suatu perjalanan wisata jarak pendek yang ditempuh kurang dari 24 jam guna mengunjungi satu atau lebih objek.
b. Safari tour yaitu perjalanan wisata yang diselenggarakan secara khusus dengan perlengkapan khusus yang tujuan maupun objeknya bukan merupakan objek kunjungan wisata pada umumnya.
c. Cruize tour yaitu perjalanan wisata dengan menggunakan kapal pesia mengunjungii objek wisata bahari dan objek wisata di darat tetapi menggunakan kapal pesiar.
d. Youth tour (wisata remaja) yaitu kunjungan wisata yang khusus diperuntukkan bagi para remaja menurut umur yang ditetapkan.
e. Marine tour (wisata bahari) yaitu suatu kunjungan ke objek wisata khususnya untuk menyaksikan keindahan lautan, wreck-diving (menyelam) dengan perlengkapan selam lengkap.
Robert W. Macintosh (1972) dalam Yoeti (2008: 113) mengemukakan empat hal mengapa orang melakukan perjalanan wisata, yaitu:
1. Motivasi fisik
Orang-orang melakukan perjalanan wisata dengan tujuan untuk mengembalikan keadaan fisik yang sudah lelah karena bekerja, perlu beristirahat dan bersantai, melakukan kegiatan olahraga, agar kembali semangat ketika masuk kerja.
2. Motivasi kultural
Orang-orang tergerak hatinya untuk melakukan perjalanan wisata disebabkan ingin melihat dan menyaksikan tingkat kemajuan budaya suatu bangsa, baik kebudayaan dimasa lalu maupun apa yang sudah dicapai sekarang, adatistiadat, kebiasaan hidup (the way of life) suatu bangsa atau daerah yang berbeda.
3. Motivasi personal
Orang-orang ingin melakukan perjalanan wisata karena ada keinginan untuk mengunjungi sanak keluarga atau teman yang sudah lama tidak bertemu. 
4. Motivasi status dan prestise
Ada orang-orang tertentu yang beranggapan dengan melakukan perjalanan wisata dapat meningkatkan status dan prestise keluarga, menunjukkan mereka memilki kemampuan dibandingkan dengan orang lain.
Menurut James J. Spillane (1987) terdapat lima unsur industri pariwisata yang sangat penting, yaitu :
1. Attractions (daya tarik) Attractions dapat digolongkan menjadi dua yaitu site attractions dan event
attractions. Site attractions merupakan daya tarik fisik yang permanen dengan lokasi yang tetap seperti kebun binatang, keraton dan museum. Sedangkan event attractions adalah atraksi yang berlangsung sementara dan lokasinya dapat dipindah dengan mudah seperti festival, pameran atau pertunjukan kesenian daerah.
2. Facilities (fasilitas-fasilitas yang diperlukan)
Fasilitas cenderung berorientasi pada daya tarik disuatu lokasi karena fasilitas hares terletak dengan pasarnya. Selama tinggal ditempat tujuan wisata wisatawan memerlukan tidur, makan dan minum oleh karena itu sangat dibutuhkan fasilitas penginapan. Selain itu ada kebutuhan akan support industries seperti toko souvenir, cuci pakaian, pemandu, dan fasilitas rekreasi.
3. Infrastucture (infrastruktur)
Daya tarik dan fasilitas tidak dapat dicapai dengan mudah kalau belum ada infrastruktur dasar. Perkembangan infrastruktur perlu untuk mendorong perkembangan pariwisata. Infrastruktur dan suatu daerah sebenarnya dinikmati baik oleh wisatwan maupun masyarakat yang juga tinggal di daerah wisata, maka penduduk akan mendapatkan keuntungan. Pemenuhan atau penciptaan infrastruktur adalah suatu cara untuk menciptakan suasana yang cocok bagi perkembangan pariwisata.
4. Transportations (transportasi )
Dalam pariwisata kemajuan dunia transportasi atau, pengangkutan sangat dibutuhkan karean sangat menentukan jarak dan waktu dalam suatu perjalanan wisata. Transportasi baik darat, udara maupun laut merupakan suatu unsur utama langsung yang merupakan tahap dinamis gejala-gejala pariwisata.
5. Hospitality (keramahtamahan)
Wisatawan yang berada dalam lingkungan yang tidak mereka kenal memerlukan kepastian jaminan keamanan khususnya untuk wisatawan asing yang memerlukan gambaran tentang tempat tujuan wisata yang akan didatangi. Maka kebutuhan dasar akan keamanan dan perlindungan harus disediakan dan juga keuletan serta kerarnahtamahan tenaga kerja wisata perlu dipertimbangkan supaya wisatawan merasa aman dan nyaman selama perjalanan wisata.